Minggu, Mei 11, 2008

Novel

 Langit sore kali ini sepertinya tidak bersahabat dengan orang-orang.
Tanpa permisi, langit menurunkan hujan deras sekali. Dengan
terburu-buru Laurya turun dari mobil, mau menerobos pintu masuk Mini
Market yang
sudah buka tiap harinya.
Saat Laurya jalan di luar teras, keluar Sendy dari pintu depan Mini
Market. Dengan tidak sengaja mereka pun saling menabrak
“Aw…,”sambar Laurya yang berada tepat di depan Sendy. “Kalo
jalan liat-liat dong.”
“Mestinya loe, barang gue pada jatuh nih,” balas Sendy gak mau
kalah.
Begitu Laurya mau menjawab, ia mendadak terdiam. Matanya terpaku
lurus mengahadap wajah Sendy, ia terus memandang Sendy dari ujung
kepala
sampai ujung kaki.
‘Gila, ini cowok cakep banget. Bibir merah yang tipis, hidung
mancung, halis tebal, mata coklat sipit, wajah manis dengan kulit
putih
bercahaya. Apalagi kaos putih dan
celana jeans biru yang dipake. Mirip
Ariel abizz, gokilnya lagi mode rambut britisnya kaya Joseph Han. Klo
dibilang sich, semua gaya artis ada pada dirinya. Gak ada tuh cowok
sekeren
dia di sekolah…!’ pekik Laurya dalam hati.
“Alow, kok ngelamun?” Laurya tersenyum campur kaget. Wajahnya
memerah.
“Lain kali kalo jalan pake mata jangan pake lutut,” tegur Sendy
sambil mengambil barang belanjaan yang terjatuh di lantai.
“Sorry gue gak tahu. Apa perlu gue batuin?” ujar Laurya nyengir.
Laurya lekas mengambil barang-barang Sendy, tanpa sengaja kedua
tangan dari mereka saling memegang barang yang sama. Sorot mata Laurya
terus
memandang wajah Sendy dengan tebar senyum termanisnya. Sementara Sendy
tak kuasa tuk melepasakan tangan Laurya. Lama setelah itu, mereka diam
tersipu malu. Namun percekcokan terjadi kembali.
“Senyum loe jelek juga ya,” Sendy memandang Laurya dengan sorot
mata tidak suka. ”Asal loe tau
gue nggak suka cara loe seyum,”
bentak Sendy.
‘Ih, gr banget jadi orang. Ngapain juga gue seyum ama loe. Yang ada
senyuman loe lebih jelek daripada gue.” balasnya kembali.
“Lo tuh yang lebih jelek,” jawabnya membereskan barang.
Terambil sudah semua barang belanjaan Sendy. Mereka mulai bangkit tuk
berdiri. Hujan deras membasahi baju Sendy dan Laurya. Tubuh mereka pun
saling membalik. Tak diduga tas Laurya mengait baju Sendy, ia pun
terdorong dipeluklah tubuh Laurya. Tatapan mata terjadi diantara
mereka.
Deg-deg! Bunyi jantung memekakkan telinga. Jantung seakan dicabut
paksa dari tempatnya. Lidah yang kelu, tak mampu berkata-kata.
Laurya terasa enggan tuk melepaskan Sendy. Tapi hujan membuat dia
kedinginan. Lepas sudah tatapan mereka. Laurya lari menuju Mini market
dengan senyum dibibirnya. 2 menit setelah itu ia berbalik badan. Tak
terpikir olehnya siapa gerangan cowok itu.
Terpampang dikaosnya nama
cowok itu.
“Sendy…?” kata Brenda dengan nada suara pelan.
Sendy yang saat itu tertegun kebingungan, akhirnya pergi tanpa
meninggalkan pesan.

Laurya kaget setengah mati. Disaat hujan turun, ia bertemu cowok
keren. Sayangnya cowok tersebut narsis pikirnya. Tapi perginya Sendy
membuat hatinya penuh teka-teki. Entah mengapa itu, ia merasa ada yang
bergejolak dalam hatinya. Sungguh enggan tuk membiarkan Sendy pergi.
Beban
berton-ton seakan menggalaungi lehernya. Kerongkongan serasa perih.
Ada
tangis yang menyesak keluar. Namun pertemuannya dengan Sendy membuat
Brenda senang kegirangan seakan turun hujan uang dari langit. Hah!


***

Pagi nan sejuk. Laurya sedang asyik melamun sambil berjalan menuju
kelas.
“Pagi Rya!” sapa Mendi dari belakang sambil menepuk kedua bahu
yang tampak menunduk lesu.. Laurya diam tak menjawab.
“Loe ngelamun? hati-hati entar kemasukan syetan
baru tau rasa,”
tegur Mendi bercanda.
“Ah Mendi loe bisa aja,” balas Laurya tidak bersemangat.
“Pagi ini loe aneh, gak biasanya sahabatku yang mungil ini diam
melamun,” pipi gemasnya dicibir Mendi.
“Sakit tau,” senyum tampak kembali di wajah Laurya.
Teringat akan sesuatu, Mendipun menghadap tubuh Laurya.
“Loe tau nggak pagi ini ada gosip apa, sekolah kita kedatangan anak
cowok baru pindahan Jakarta loh. Katanya sich dia jago basket,
hebatnya lagi dia juara oliampide Matematika tingkat nasional. Apa loe
gak
tertarik,” kata Mendi centil.
“Oh ya!”jawabnwqya cuek.
“Ayolah Rya loe kan cantik banyak cowok yang ngantri nunggu loe.
Masa cowok cakep pintar kaya Sendy yang mirip Ariel loe nggak mau
juga,” ocehnya lagi.
“Sendy…?” pikirnya kaget.
“Jadi anak pindahan itu namanya Sendy. Klo gitu sekarang dia
dimana?” Tanya Laurya.
“Tadi gue liat dia di lapangan basket.”
Laurya gegas lari menuju
lapangan.
“Rya, mau kemana?” teriak Mendi.
Tanpa pikir panjang Laurya mencari Sendy. Rasa penasaran muncul pada
dirinya.
Ketika Laurya lari sekuat tenaga tubuhnya menabrak seseorang dan
Laurya pun akhirnya terjatuh
“Ao…, sakit.”
“Punya mata gak sich,” bentak Sendy yang sama-sama kesakitan.
“Loe? Kok mesti loe lagi yang gue tabrak.”
“Ngapain disini.”
“Loe sendiri.”
“Apa urusan loe tentang gue.”
“Kemarin…?”
“Oh itu, gue males ngebahasnya,” jawab Sendy sinis.
“Sorry, gue ada urusan,” Sendy tiba-tiba pergi dari hadapan
Laurya.
“Loh, urusan kita belum selesai!” pinta Laurya yang heran
melihat Sendy pergi menghilang.
Lama setelah itu Mendi datang. Dipegang kedua pundak Laurya.
“Rya, ternyata loe disini. Bel masuk udah bunyi tuh, kita ke kelas
yuk,” ajak Mendi ramah.
“Ya deh teman centilku yang baik,” balasnya gokil.
“Tadi gue liat, loe ngobrol sama Sendy ya? kayanya
serius, apa
mungkin kalian sudah kenal atau jangan-jangan kalian pacaran secara
diam-diam.”
“hus jangan asal ngeyel,” ujar Brenda matanya melirik
kesekeliling.
Brenda dan Mendi pun segera ke kelas. Dengan tenang Brenda melupakan
peristiwa tadi.

***

Selama sebulan lebih Laurya dan Sendy bermusuhan. Mereka bagaikan
anjing dan kucing. Sedikit seyum tidak tampak diantara mereka. Disaat
mereka bertemu hanya wajah sinislah yang mereka perlihatkan. Terucap
satu
kata pun tidak.
Tak terasa 2 bulan Sendy sekolah. Hingga akhirnya ia diikutkan dalam
pertandingan basket antarkelas. Perlombaan basket yang
mempertandingkan
antarkelas cewek dan kelas cowok. Dari pihak cowok, Sendy terpilih
menjadi kedua team. Begitu juga Laurya, ia dipilih
teman-temannyasebagai
ketua team.
“Tonton aksi seru pertandingan basket antarkelas Team Sendy VS Team
Laurya,” kata seorang siswi yang sedang
asyik membaca pengumuman
mading sekolah.
Sementara itu, Laurya hanya bolak-balik membalikan badan memikirkan
pertanding besok melawan Sendy.
‘Gimana dong, gue gak mungkin tanding ama cowok jutek kaya Sendy.
Memang sih kita gak akur, ’tapi jujur gue cinta dia’. Rasanya tak
kuasa raga ini bila gue harus ngelawan dia. Pertandingan ini harus gue
batalin,’ pekik hati Laurya.
Laurya segera mengahadap Sendy.
“Sendy, gue rasa pertandingan ini perlu loe batalin,” teriak
Laurya yang baru saja masuk pintu kelas.
“Kenapa dibatalin, apa loe takut kalah,” sindir Sendy sok tau.
“Perlu loe tau, Laurya gak kenal kata kalah.”
‘Trus masalahnya?”
“Ya…, gue pikir kenapa juga mesti loe yang jadi ketuanya.”
“Sah aja kan, karena gue pemain basket handal.”
“Alah udah dech simpan rasa bangga loe, lagian nggak ada gunanya
gue ngejelasin karena loe gak punya hati, kata egoislah yang tepat
buat
loe.”
Setelah
Laurya berbicara banyak, ia pun landas pergi. Pintu kelas ia
dorong dengan keras. Sendy tergugah melihatnya.


***

Semalaman Sendy tidak bisa tidur. Ia termenung di kamar atas.
Kata-kata yang dilontar Laurya membuat Sendy bingung, hatinya gelisah,
kenapa
Laurya mendadak marah dan menobrak pintu sekeras mungkin. Ia menggigit
bibir terus bertanya-tanya atas alasan apa Laurya membatalkan
pertandingan besok. Tersadari Sendy akan kata egois yang Laurya
ucapkan siang
tadi. Ia merasa omongan Laurya ada benarnya. Keegoisan telah
membutakan
hati dan pikirannya. Karena sifat itu ia tidak mempunyai banyak teman.

“Aku harus berpikir. Tapi apa? Otak gue nggak bisa bekerja. Buntu.
Tapi mengapa harus Laurya yang gue inget. Kata-katanya memeberi kesan
dalam buat gue. Mungkinkah pertandingan besok harus gue batalkan
…….?” gumam Sendy dengan langkah kaki yang kian tak henti.

Keesokan
paginya…
“Priittt…”, suara peluit berbunyi tanda pertandingan segera
dimulai.
Suara sorak porak siswa-siswi SMAN 20 terdengar ramai. Seisi lapangan
ricuh akan teriakan semangat para supporter.
Babak pertama berlangsung seru. Team Sendy berhasil memasukan bola
sebanyak 10 kali. Sementara team Laurya terus semangat mempertahankan
scorenya (7) yang begitu minim. Disaat babak penentuan mendadak Laurya
terlihat kelelahan. Semangatnya menurun.
“Rya, loe nggak apa-apa?” tanya Alisya gelisah.
“Gue baik-baik aja,” jawab Laurya lesu.
“Loe yakin,” tanyanya kembali.
Seyum manis terlihat di bibir merah tipisnya.
Sekilas Sendy melihat aksi Laurya. Laurya terlihat tak kuasa diri
untuk berjalan. Keadaan Laurya membuat resah hatinya. Tanpa pikir
panjang
Sendy mengangkatkan kedua tangannya dan mengundurkan diri dari
pertandingan basket. Tiba-tiba kakinya terasa sakit, sulit untuk
digerakkan.
Padahal
dibalik itu kakinya baik-baik saja. Wasit pun tak bisa memaksa
untuk lanjutkan pertandingan.

***

“Sorry Sen, gue gak terima atas kemenangan ini.” teriak Laurya
mendekati Sendy.
Sendy diam seperti hilang kata-kata. Kakinya yang sedang berjalan
hendak ia hentikan. Ia seakan tahu bahwa Laurya tidak akan suka bila
pertandingan diperlakukan tidak adil.
“Kenapa loe diam,” tanyanya kembali.
“Sen, omongan gue kemarin bukan berarti gue nyuruh loe tuk kalah
dengan sikap loe yang konyol itu. Gue perlu kejujuran atas alasan loe
tadi.” pintanya kembali.
Laurya terus memaksa Sendy megaku bahwa pada saat pertandingan kaki
Sendy sama sekali tidak kesakitan. Menurutnya pertandingan tidak per
bila Sendy tidak ikut. Kaki yang sakit hanya jadikan sebuah alasan
belaka
yang konyol untuk memberikan kesempatan menang pada lawan. Meski
begitu
Sendy tetap tidak mau menjawab. Melihat Sendy berdiam saja,
Laurya
semakin bingung harus berkata apa. Akhirnya dia segera meninggalkan
ruangan. Ketika Laurya menuju pintu ke luar. Sendy mulai berbicara.
Dia menarik napasnya dalam-dalam.
“Apa loe mau tahu alasan gue lakuin itu?” tanya Sendy gugup.
“Kenapa tidak,” balasnya.
“Omongan loe kemarin ngebuat hati gue terbuka, selama gue sekolah
nggak ada seorang pun yang berani ngatur gue termasuk ortu. Dan loe
La,
hanya loe gue bisa sadar akan satu hal hidup bukan untuk diri sendiri
tapi untuk diri orang lain.” Suara Sendy memenuhi kepala Laurya.
Tetes
air mata keluar dari mata Sendy yang tajam seperti elang.
“Gue ngerti maksud loe, tapi jangan campur adukan masalah loe dalam
pertandingan ini.”
“gue tau gue emang bodoh, kemenangan team kalianlah yang hanya bisa
gue beri,” kata Sendy terisak-isak.
Tak lama itu, Laurya mulai memberanikan diri menghapus air mata yang
jatuh tepat di pipi Sendy. Sendy terharu
melihat perlakuan Laurya yang
halus. Terasa ada kenyamanan dalam hati Sendy saat Laurya didekatnya.
‘My girl?’ kata itu seperti dibisikkan langsung ke telinga
Laurya.
Jika saja gue bisa kenal loe dari dulu. Ah, berjuta kata ingin ku
ucapkan. Betapa banyak cerita mengeani keluh kesahku. Tapi, hanya
isaklah
yang keluar.
“jujur gue cinta dia,” tutur hati Sendy.


---------------------------------
Ahhh...imagining that irresistible "new car" smell?

---------------------------------
Get easy, one-click access to your favorites. Make Yahoo! your
homepage.
--0-299432691-1194955997=:33456
Content-Type: text/html; charset=iso-8859-1
Content-Transfer-Encoding: 8bit

JUJUR GUE
CINTA
‘DIA’







Langit
sore kali ini
sepertinya tidak bersahabat
dengan orang-orang. Tanpa permisi, langit menurunkan hujan deras
sekali. Dengan terburu-buru Laurya turun dari mobil, mau menerobos pintu masuk Mini Market
yang sudah buka tiap
harinya.
Saat Laurya jalan di luar teras, keluar Sendy dari
pintu depan Mini
Market. Dengan tidak sengaja mereka pun saling
menabrak

“Aw…,”sambar Laurya
yang berada tepat di depan Sendy. “Kalo jalan liat-liat
dong.”
“Mestinya loe, barang gue
pada jatuh nih,” balas Sendy gak mau
kalah.
Begitu Laurya mau menjawab,ia
mendadak terdiam. Matanya terpaku lurus mengahadap wajah Sendy, ia
terus
memandang Sendy dari ujung kepala sampai ujung
kaki.
Gila, ini cowok cakep banget. Bibir merah yang tipis, hidung mancung, halis tebal, mata
coklat
sipit, wajah manis dengan kulit putih bercahaya. Apalagi kaos putih
dan
celana jeans biru yang dipake. Mirip Ariel abizz, gokilnya lagi mode
rambut britisnya kaya Joseph Han. Klo dibilang sich, semua gaya artis
ada
pada dirinya. Gak ada tuh cowok sekeren dia di sekolah…!’
pekik
Laurya dalam hati.
“Alow, kok ngelamun?” Laurya tersenyum campur kaget.
Wajahnya memerah.
“Lain kali kalo jalan pake mata jangan pake lutut,” tegur Sendy
sambil mengambil barang belanjaan yang terjatuh di
lantai.
“Sorry gue gak tahu. Apa perlu gue batuin?” ujar Laurya nyengir.
Laurya lekas mengambil barang-barang Sendy,
tanpa sengaja kedua tangan dari mereka
saling
memegang barang yang sama. Sorot mata Laurya terus memandang wajah
Sendy dengan tebar senyum termanisnya. Sementara Sendy tak kuasa tuk
melepasakan tangan Laurya. Lama setelah itu, mereka diam tersipu malu.
Namun
percekcokan terjadi kembali.
“Senyum loe jelek juga ya,” Sendy
memandang Laurya dengan sorot mata tidak suka. ”Asal loe tau gue
nggak suka cara loe seyum,” bentak
Sendy.
‘Ih, gr banget jadi orang.Ngapain juga
gue seyum ama loe. Yang ada senyuman loe lebih jelek daripada gue.”
balasnya kembali. < “Lo tuh yang lebih jelek,” jawabnya membereskan barang. Terambil sudah semua barang belanjaan Sendy. Mereka mulai bangkit tuk berdiri. Hujan deras membasahi baju Sendy dan Laurya. Tubuh mereka pun saling membalik. Tak diduga tas Laurya mengait baju Sendy, ia pun terdorong dipeluklah tubuh Laurya. Tatapan mata terjadi diantara mereka. Deg-deg! Bunyijantung memekakkan telinga. Jantung seakan dicabut paksa dari tempatnya. Lidah yang kelu, tak mampu berkata-kata. Laurya terasa enggan tuk melepaskan Sendy. Tapi hujan membuat dia kedinginan. Lepas sudah tatapan mereka. Laurya lari menuju Mini market dengan senyum dibibirnya. 2 menit setelah itu ia berbalik badan. Tak terpikir olehnya siapa gerangan cowok itu. Terpampang dikaosnya namacowokitu. “Sendy…?” kata Brenda dengan nada suarapelan. Sendy yangsaat itu tertegun kebingungan, akhirnya pergi tanpa meninggalkanpesan. Laurya kagetsetengah mati. Disaat hujan turun, ia bertemu cowok keren. Sayangnya cowok tersebut narsis pikirnya. Tapi perginya Sendy membuat hatinya penuh teka-teki. Entah mengapa itu, ia merasa ada yang bergejolak dalam hatinya. Sungguh enggan tuk membiarkan Sendy pergi. Beban berton-ton seakan menggalaungi lehernya. Kerongkongan serasa perih. Ada tangis yang menyesak keluar. Namun pertemuannya dengan Sendy membuat Brenda senang kegirangan seakan turun hujan uang dari langit. Hah! Pagi nan sejuk. Laurya sedang asyik melamun sambilberjalanmenuju kelas. “Pagi Rya!” sapa Mendi dari belakang sambilmenepuk kedua bahu yang tampak menunduk lesu.. Laurya diam tak menjawab. “Loe ngelamun! hati-hati entar kemasukan syetan baru tau rasa,” tegur Mendi bercanda. “Ah Mendiloe bisa aja,” balas Laurya tidak bersemangat. “Pagiini loe aneh, gak biasanya sahabatku yang mungil ini diam melamun,” pipi gemasnya dicibir Mendi. “Sakit tau,” senyum tampak kembali di wajahLaurya. Teringat akan sesuatu,Mendipun menghadap tubuh Laurya. “Loe tau nggak pagi ini adagosip apa, sekolah kita kedatangan anak cowok baru pindahan Jakarta loh. Katanya sich dia jago basket, hebatnya lagi dia juara oliampide Matematika tingkat nasional. Apa loe gak tertarik,” kata Mendi centil. “Ayolah Rya loe kan cantikbanyak cowok yang ngantri nunggu loe. Masa cowok cakep pintar kayaSendy yang mirip Ariel loe nggak mau juga, ” ocehnyalagi. “Sendy…?” pikirnyakaget. “Jadi anak pindahan itu namanya Sendy. Klo gitu sekarang dia dimana?” TanyaLaurya. “Tadi gue liat dia dilapanganbasket, Laurya gegaslari menuju lapangan. “Rya, mau kemana?” teriakMendi. Tanpapikir panjang Laurya mencari Sendy. Rasa penasaran muncul pada dirinya. KetikaLaurya lari sekuat tenaga tubuhnya menabrak seseorang dan Laurya pun akhirnya terjatuh “Ao…, sakit.” “Punyamata gak sich,” bentak Sendy yang sama-sama kesakitan. “Loe? Kok mesti loe lagi yang gue tabrak. “Ngapain Loesendiri. “Apa urusan loe tentang gue.” “Kemarin…? “Oh itu, gue males ngebahasnya,” jawab Sendy sinis. “Sorry, gue ada urusan,” Sendy tiba-tiba pergi dari hadapan Laurya. “Loh, urusan kita belum selesai!” pinta Laurya yang heran melihat Sendy pergi menghilang,Lamasetelah itu Mendi datang. Dipegang kedua pundak Laurya.“Rya,ternyata loe disini. Bel masuk udah bunyi tuh, kita ke kelas yuk,” ajak Mendi ramah.“Ya deh teman centilku yang baik,” balasnya gokil.“Tadi gue liat, loe ngobrol sama Sendy ya? kayanya serius, apa mungkin kalian sudah kenal atau jangan-jangan kalian pacaran secara diam-diam.“husjangan asal ngeyel,” ujar Brenda matanya melirik kesekeliling kekelas. Dengan tenang Brenda melupakan peristiwa tadi. Selama sebulan lebih Laurya dan Sendy bermusuhan. Mereka bagaikan anjing dan kucing. Sedikit seyum tidak tampak diantara mereka. Disaat mereka bertemu hanya wajah sinislah yang mereka perlihatkan. Terucap satu kata pun tidak. Tak terasa 2 bulan Sendy sekolah. Hingga akhirnya ia diikutkan dalam pertandingan basket antarkelas. Perlombaan basket yang mempertandingkan antarkelas cewek dan kelas cowok. Dari pihak cowok, Sendy terpilih menjadi kedua team. Begitu juga Laurya, ia dipilih teman-temannyasebagai ketua team. “Tonton aksi seru pertandingan basket antarkelas Team Sendy VS Team Laurya,” kata seorang siswi yang sedang asyik membaca pengumuman mading sekolah. Sementara itu, Laurya hanya bolak-balik membalikan badan memikirkan pertanding besok melawan Sendy. ‘Gimana dong, gue gak mungkin tanding ama cowok jutek kaya Sendy. Memang sih kita gak akur, ’tapi jujur gue cinta dia’. Rasanya tak kuasa raga ini bila gue harus ngelawan dia. Pertandingan ini harus gue batalin,’ pekik hati Laurya. mengahadap Sendy. “Sendy, gue rasa pertandingan ini perlu loe batalin,” teriak Laurya yang baru saja masuk pintu kelas. “Perlu loe tau, Laurya gak kenal kata kalah. ‘Trus masalahnya? “Ya…, gue pikir kenapa juga mesti loe yang jadi ketuanya. “Sah aja kan, karena gue pemain basket handal.“Alah udah dech simpan rasa bangga loe, lagian nggak ada gunanya gue ngejelasin karena loe gak punya hati, kata egoislah yang tepat buat loe. Setelah Laurya berbicara banyak, ia pun landas pergi. Pintu kelas ia dorong dengan keras. Sendy tergugah melihatnya. Semalaman Sendy tidak bisa tidur. Ia termenung di kamar atas. Kata-kata yang dilontar Laurya membuat Sendy bingung, hatinya gelisah, kenapa Laurya mendadak marah dan menobrak pintu sekeras mungkin. Ia menggigit bibir terus bertanya-tanya atas alasan apa Laurya membatalkan pertandingan besok. Tersadari Sendy akan kata egois yang Laurya ucapkan siang tadi. Ia merasa omongan Laurya ada benarnya. Keegoisan telah membutakan hati dan pikirannya. Karena sifat itu ia tidak mempunyai banyak teman. “Aku harus berpikir. nggak bisa bekerja. Buntu. Tapi mengapa harus Laurya yang gue inget. Kata-katanya memeberi kesan dalam buat gue. Mungkinkah pertandingan besok harus gue batalkan …….?” gumam Sendy dengan langkah kaki yang kian tak henti. Keesokan paginya… “Priittt…”, suara peluit berbunyi tanda pertandingan Suara sorak porak siswa-siswi SMAN 20 terdengar ramai. Seisi lapangan ricuh akan teriakan semangat para supporter. Babak pertama berlangsung seru. Team Sendy berhasil memasukan bola sebanyak 10 kali. Sementara team Laurya terus semangat mempertahankan scorenya (7) yang begitu minim. Disaat babak penentuan mendadak Laurya terlihat kelelahan. Semangatnya menurun. “Rya, loe nggak apa-apa?” tanya Alisya gelisah. “Loe yakin,” tanyanya kembali. Seyum manis terlihat di bibir merah tipisnya. Sekilas Sendy melihat aksi Laurya. Laurya terlihat tak kuasa diri untuk berjalan. Keadaan Laurya membuat resah hatinya. Tanpa pikir panjang Sendy mengangkatkan kedua tangannya dan mengundurkan diri dari pertandingan basket. Tiba-tiba kakinya terasa sakit, sulit untuk digerakkan. Padahal dibalik itu kakinya baik-baik saja. Wasit pun tak bisa memaksa untuk lanjutkan pertandingan. “Sorry Sen, gue gak terima atas kemenangan ini.” teriak Laurya mendekati Sendy. Sendy diam seperti hilang kata-kata. Kakinya yang sedang berjalan hendak ia hentikan. Ia seakan tahu bahwa Laurya tidak akan suka bila pertandingan diperlakukan tidak adil. “Kenapa loe diam,” tanyanya kembali. “Sen, omongan gue kemarin bukan berarti gue nyuruh loe tuk kalah dengan sikap loe yang konyol itu. Gue perlu kejujuran atas alasan loe tadi.” pintanya kembali. Laurya terus memaksa Sendy megaku bahwa pada saat pertandingan kaki Sendy sama sekali tidak kesakitan. Menurutnya pertandingan tidak per bila Sendy tidak ikut. Kaki yang sakit hanya jadikan sebuah alasan belaka yang konyol untuk memberikan kesempatan menang pada lawan. Meski begitu Sendy tetap tidak mau menjawab. Melihat Sendy berdiam saja, Laurya semakin bingung harus berkata apa. Akhirnya dia segera meninggalkan ruangan. Ketika Laurya menuju pintu ke luar. Sendy mulai berbicara.Dia menarik napasnya dalam-dalam. “Apa loe mau tahu alasan gue lakuin itu?” tanya “Kenapa tidak,” balasnya. “Omongan loe kemarin ngebuat hati gue terbuka, selama gue sekolah nggak ada seorang pun yang berani ngatur gue termasuk ortu. Dan loe La, hanya loe gue bisa sadar akan satu hal hidup bukan untuk diri sendiri tapi untuk diri orang lain.” Suara Sendy memenuhi kepala Laurya. Tetes air mata keluar dari mata Sendy yang tajam seperti elang. “Gue ngerti maksud loe, tapi jangan campur adukan masalah loe dalam pertandingan ini.” “gue tau gue emang bodoh, kemenangan team kalianlah yang hanya bisa gue beri,” kata Sendy terisak-isak. Tak lama itu, Laurya mulai memberanikan diri menghapus air mata yang jatuh tepat di pipi Sendy. Sendy terharu melihat perlakuan Laurya yang halus. Terasa ada kenyamanan dalam hati Sendy saat Laurya didekatnya. ‘Mygirl?’ kata itu seperti dibisikkan langsung ke telinga Laurya. Jika saja gue bisa kenal loe dari dulu. Ah, berjuta kata ingin ku ucapkan. Betapa banyak cerita mengeani keluh kesahku. Tapi, hanya isaklah yang keluar. “jujur gue cinta dia,” tutur hati Sendy. Ahhh...imagining that irresistible "new car" smell?